Bermodal tekad yang kuat, HB Naveen berhasil pindah kuadran secara mulus. Kini, Falcon Interactive menjadi salah satu perusahaan multimedia yang disegani di Tanah Air dan mulai menjajaki pasar internasional.
Jabatan mentereng dengan fasilitas kelas satu ternyata tak cukup buat meredam niat HB Naveen berpindah kuadran. Padahal, kala itu di usianya yang masih sangat muda, ia sudah menduduki posisi sangat penting, yaitu Direktur Bhakti Media.
Di perusahaan yang kemudian berubah nama menjadi MNC Corp. itu, Naveen dinilai punya potensi sangat bagus. Maklum, sebelumnya ia berhasil melambungkan program seperti Fear Factors, Who Wants to be A Millionaire, dan beberapa program lainnya. Karena alasan itu pulalah, keputusan Naveen mengundurkan diri sangat disayangkan oleh petinggi Bhakti Media.
Namun, tekad pria kelahiran Jakarta 12 Desember 1971 ini sudah bulat. “Saat itu adalah momentum yang sangat tepat,” ujar Naveen. Pertengahan tahun 2006, Naveen resmi mundur dari Bhakti Media untuk memulai petualangan baru sebagai wirausaha.
Tak sedikit “ongkos” yang harus dikeluarkan untuk pindah kuadran. Seluruh uang tabungan dan pesangon yang diperolehnya dari Bhakti Media dijadikan sebagai modal untuk mendirikan perusahaan yang membidangi multimedia yang dia beri nama Falcon Interactive. “Mobil pun saya tukar dengan yang lebih murah agar mendapat tambahan modal,” ungkap Naveen.
Bukan itu saja pengorbanannya. Naveen pun harus rela melepas seluruh atribut yang pernah melekat pada dirinya. “Saya turun langsung ke lapangan untuk menemui AE-AE (account executive) dari perusahaan telko,” ujarnya. Padahal, Naveen mengaku kenal dengan para petinggi di perusahaan telko itu. “Saya benar-benar mulai dari nol.”
Naveen menuturkan, salah satu alasannya memilih bidang multimedia, atau yang dia sebut sebagai new media, karena bidang ini merupakan bidang baru yang belum dikuasai oleh pemain besar. Dia menyebutkan, media-media tradisional sudah dikuasai oleh konglomerasi besar dengan modal berlimpah. “Di industri ini semua berstatus sama, sebagai start-up.”
Proyek pertama yang berhasil direngkuh Falcon adalah handset Esia Hidayah bekerja sama dengan PT Bakrie Telecom Tbk. Handset yang ditujukan untuk konsumen Muslim tersebut ternyata meraih sukses cukup besar. Lebih dari satu juta unit terjual. “Ini menjadikan semangat kami semakin tinggi,” kata Naveen.
Falcon pun kemudian menggandeng Flexi dan Kompas untuk meluncurkan Kompas Phone. Walau penjualan Kompas Phone tak sebaik Esia Hidayah, kehadiran produk ini semakin menancapkan nama Falcon di jajaran perusahaan telko di Indonesia. “Kami semakin banyak menjual aplikasi, baik yang berbasis teks maupun gambar ke perusahaan telko,” ia berujar.
Nama Falcon kian dikenal ketika masuk ke bisnis nada sambung pribadi (NSP). Tidak tanggung-tanggung, Falcon langsung menggandeng dua artis legendaris yang punya penggemar dalam jumlah yang masif, yaitu Iwan Fals dan Rhoma Irama. Kedua artis ini terbukti semakin melambungkan nama Falcon di jajaran pelaku industri multimedia di Tanah Air.
Melihat perkembangan perusahaan berjalan dengan sangat baik, rasa percaya diri Naveen pun makin tebal. Ia semakin yakin akan masa depan perusahaan dan bisnis yang dia geluti. “Semua yang berbasis mobile dan Internet punya potensi yang besar untuk terus berkembang,” ucapnya.
Naveen tidak asal ucap. Dia menyebutkan, dari tahun ke tahun jumlah pengguna ponsel di Indonesia terus meningkat signifikan. Demikian pula jumlah pengakses Internet yang terus tumbuh. “Itu adalah momentum kami untuk fokus di dua bidang tersebut,” kata Naveen, yang lalu memutuskan serius di dua bidang industri, yaitu teknologi dan entertainment.
Di bidang teknologi, Falcon tetap fokus dalam memasarkan aplikasi berbasis mobile lewat perusahaan telko. Selain itu, Falcon juga merambah ke bisnis portal Internet. Sekarang, Falcon setidaknya mengelola tiga portal, yaitu portal barang diskon (www.diskongokil.com), portal olah raga (www.cekskor.com) dan portal infotainment (www.lipstik.tv).
Walau bisnis Internet pernah mengalami crash pada awal 2000-an, menurut Naveen, bukan berarti bisnis tersebut sudah tidak memiliki potensi. Keadaan saat ini sangat jauh berbeda dibanding awal 2000-an, yang mana penetrasi PC dan Internet jauh lebih baik.
Sementara di bidang entertainment, Falcon mengembangkan sayap bisnisnya dengan merambah industri rekaman. “Dari NSP kami bergerak ke full track dan physical product,” ia menerangkan. Dua artis yang sebelumnya sudah mereka gandeng, Iwan Fals dan Rhoma Irama tetap dipertahankan. Falcon pun kemudian menggandeng artis yang tengah naik daun seperti Goliath, Rido Rhoma dan beberapa lainnya.
Di bisnis rekaman, Naveen tergolong cukup nekad dan berani mengambil risiko. “Kalau tidak ada risiko saya resah,” ujarnya sambil tertawa. Terbukti ia berani mengontrak (almarhum) Mbah Surip yang kala itu sudah ditolak oleh beberapa perusahaan rekaman lain karena dianggap tidak memiliki daya jual. Toh nyatanya, Mbah Surip lewat lagunya Tak Gendongberhasil meraih sukses besar.
Di bisnis rekaman, Naveen menganut prinsip yang sangat unik, yaitu tidak mau kalah. Dia menceritakan, suatu ketika ia pernah bertemu dengan boy band Smash dan ia menawari Smash bergabung dengan perusahaan rekamannya. “Saya tawarkan kepada mereka, kalian mau jadi kawan atau lawan. Karena mereka tidak menjawab, saya anggap mereka mau jadi lawan,” ceritanya. Dari situ, ia menggandeng personel Opera Van Java dan membentuk boy band yang diberi nama Smosh (pelesetan dari Smash).
Namun, mantan Manajer Akun McCann Ericsson ini sadar bahwa Smosh hanyalah proyek sesaat. Maka, format dan namanya pun diubah menjadi 7 Ikans yang merupakan pelesetan dari girl band 7 Icons. Terakhir, Falcon mengontrak Briptu Norman yang beberapa waktu lalu sempat menjadi buah bibir di dunia hiburan di Tanah Air. “Saya ingin melakukan bisnis ini dengan fun. Saya enjoy, konsumen juga suka,” ia menandaskan.
Di bisnis rekaman, Naveen berani mengklaim bahwa Falcon berada di posisi tiga besar. “Kami sudah menjadi label yang sangat diperhitungkan di negeri ini,” ujarnya. Dari industri rekaman, tahun ini Falcon mulai merambah bisnis film. Oktober ini, mereka meluncurkan film yang berjudul Mestakung, bekerja sama dengan Mizan. Adapun November nanti hendak diluncurkan film terbaru Rhoma Irama yang berjudul Sajadah Ka’bah. “Tahun depan kami rencananya akan membuat 6 film,” lanjutnya.
Naveen mengatakan, salah satu cita-cita yang belum tercapai adalah masuk ke program TV. Namun, hal itu sebentar lagi akan terwujud karena Falcon sudah mendapatkan kontrak dari salah satu stasiun TV untuk membuat 13 FTV. “Perjuangan kami di TV masih 1,5-2 tahun lagi,” ujarnya seraya menambahkan, Falcon tengah mencari rumah produksi untuk diakuisisi agar bisa mempercepat perkembangan Falcon di program TV.
Menurut Yoris Sebastian, Naveen sudah membawa Falcon pada track yang benar. Dalam menggarap industri kreatif, pengembangan sayap usaha harus terus dilakukan. “Di industri kreatif, kita tidak bisa hanya bertumpu pada satu bidang,” kata Yoris.
Selain harus bisa membaca pasar, Yoris menyebut bahwa intuisi juga sangat dibutuhkan dalam menggarap industri ini. Dalam hal ini, Yoris memuji Naveen sebagai sosok yang punya intuisi tajam. “Ketika mereka ambil Mbah Surip semua orang mencemooh karena dianggap tidak punya daya jual. Buktinya Mbah Surip sukses.”
Naveen sepakat dengan Yoris. Menurutnya, sebagai seorang wirausaha dia harus bisa membaca arah pergerakan pasar. Karena alasan itu, Naveen berani berinvestasi dengan membeli 10% saham salah satu perusahaan di Silicon Valley yang membidangi video streaming. “Kami melihat tren pasar akan terus bergerak, dari teks ke gambar, kemudian akan bergerak ke video,” ujarnya. Sayang, Naveen enggan menyebut besarnya investasi di perusahaan itu.
Naveen memang sangat agresif mengembangkan Falcon. Namun, hampir semua bisnis yang dia kembangkan adalah hasil pengembangan sendiri. “Kami jarang sekali melakukan akuisisi. Satu-satunya akuisisi yang kami lakukan adalah pada www.carakita.com,” ujarnya lagi.
Carakita.com merupakan pintu masuk Falcon ke bisnis pendidikan. Website yang membidangi kursus bahasa Inggris secara online ini tadinya dimiliki oleh orang Bali yang sangat mengerti bagaimana pola belajar bahasa Inggris bagi orang Indonesia. “Nantinya kami akan bawa carakita.com ke sekolah offline dan mobile,” katanya seraya menyebutkan, saat ini mereka tengah membangun sebuah sekolah di Bali untuk mendukung carakita.com.
Selain carakita.com, Falcon di tahun 2011 ini mengembangkan pusat belajar membaca Al Quran yang berlokasi di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, yaitu Quran Learning Center (QLC). Sama seperti carakita.com, QLC juga akan disinergikan dengan bisnis lainnya. “Nantinya semua bisnis kami akan masuk ke jalur mobile dan Internet,” ungkap lulusan Program Eksekutif dari Harvard University ini.
Naveen mengatakan, kini organisasi Falcon sudah berkembang sedemikian rupa. Total tenaga kerja yang tergabung di kelompok usaha ini mencapai lebih dari 200 orang. Adapun omset per tahun yang berhasil diraup Falcon mencapai Rp 400 miliar. “Organisasi ini harus terus berkembang dan satu komando. Dan saya masih menjadi sentral di organisasi ini,” ucapnya.
Dia mengatakan, gaya kepemimpinan yang diterapkannya selama ini adalah leading by example. Ia harus turun langsung ke lapangan, sambil memastikan semua berjalan sebagaimana mestinya. “Belum saatnya saya menjadi seperti Sir Alex Fergusson yang hanya berada di pinggir lapangan. Saya masih harus turun bermain, paling tidak sampai 10 tahun mendatang,” ungkapnya.
Sambil “bermain”, Naveen pun harus terus memompa motivasi jajaran di bawahnya. Menurutnya, sebagai perusahaan multimedia, Falcon harus terus berinovasi untuk melahirkan hal baru yang diminati pasar. “Kami harus bisa membaca tren dan menjadikannya sebagai peluang.”
Menurut Yoris, salah satu permasalahan di perusahaan seperti Falcon adalah ketergantungan pada satu individu. “Naveen bisa mengambil posisi seperti Steve Jobs yang sangat sentral dan menjadi otak perusahaan atau membangun organisasi yang inovatif. Saya berharap dia lebih memilih yang kedua,” ungkap Yoris seraya menambahkan, perusahaan seperti Falcon harus terus kreatif dan inovatif. “Itu hanya bisa dicapai jika kultur di perusahaan juga mendukung,” ujar penulis buku Creative Junkies ini.
Yang menarik, berbeda dari perusahaan lain yang berstatus start-up, Naveen tak sedikit pun berniat menjual usaha yang dibangunnya dari nol ini kepada investor asing. “Saya merasa tidak ada investor asing yang bisa membantu saya mengembangkan usaha ini. Ini teritori saya. Saya lebih mengerti karakter bisnis dan pasar Indonesia,” katanya tegas.
Naveen malah berencana membawa Falcon menjadi perusahaan publik. “Langkah ke sana sudah mulai kami rintis. Awal tahun 2012 kami akan melakukan beauty contest untuk mencariunderwriter,” katanya. “Menjadi perusahaan publik bukan untuk mencari dana, tapi agar kami lebih terkontrol.”
Bisnis yang digeluti Falcon, lanjut Naveen, masih punya masa depan yang sangat cerah. Maka, dia pun berani mengambil keputusan yang mengandung risiko. Seperti yang saat ini tengah dilakukannya, yaitu membeli 25 ribu handset yang nantinya akan dijadikanhandphone, ditujukan untuk pasar anak-anak. “Faktanya sekarang banyak anak-anak yang sudah menggunakan handphone, tapi handphone yang mereka gunakan adalah untuk orang dewasa. Kami akan luncurkan handphone yang khusus untuk anak-anak,” kata Naveen lagi.
“Nekad bukan berarti tanpa perhitungan. Yang pasti kami harus bisa membaca pergerakan pasar,” kata Naveen. Saat ini Naveen pun tengah membangun divisi internasional. Dia sudah menjajaki untuk masuk ke beberapa negara berkembang yang karakter pasarnya mirip dengan Indonesia, seperti Bangladesh, Nigeria, Filipina, dan beberapa negara lain. “Nantinya kami akan memasarkan aplikasi kami ke luar negeri,” katanya bertekad.